
Sekolah Kartini tempo dulu
INTELMEDIAUPDATE – Gedung SMAN 9 di Jalan Kartini, Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor yang berlokasi tak jauh dari Museum Perjuangan, berdiri kokoh di lahan seluas 2.255 m2 dengan arsitektur klasik bergaya Belanda. Hingga kini, bangunan yang diketahui merupakan saksi bisu sejarah peninggalan Kartini Shool itu masih kokoh berdiri.
Dikisahkan pengelola Museum Perjuangan Bogor, Bunyamin, dimulai dari zaman pendudukan Belanda, lokasi tersebut merupakan Kartini School atau sekolah khusus perempuan bangsawan sekaligus asrama bagi guru dan siswa.
Bangunan yang memiliki dua lantai itu termasuk salah satu Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Kota Bogor yang dibangun pada tahun 1914 oleh KartiniFonds (Yayasan Kartini), yakni sebuah yayasan yang dibentuk pada tahun 1912 dan diketuai oleh Conrad Theodore van Deventer di Den Haag, Belanda.
“Setahu saya, sebelum kini menjadi SMAN 9, sekolah Kartini School tersebut pernah beralih-alih menjadi tempat pendidikan. Seingat saya, dulu pernah ditempati sekolah gerak badan, kemudian sekolah guru olahraga, lalu sekolah pendikan guru yang sekitar tahun 1970-an pindah ke Pejagalan, Kota Bogor . Dan, terakhir kini SMAN 9,” kata pengelola Museum Perjuangan, Bunyamin yang kini sudah berusia kepala enam, Senin (21/4/2025).

Sekolah Kartini, sambung Bunyamin, merupakan sekolah khusus perempuan yang dibangun oleh Yayasan Kartini. Dari berbagai sumber yang dihimpun, sambungnya, diketahui Sekolah Kartini tidak lepas dari peran Van Deventer dan Jacques Henrij Abendanon.
“Mereka inilah yang mewujudkan cita-cita mendiang Raden Ajeng Kartini untuk mengangkat derajat perempuan pribumi melalui pendidikan. Untuk pertama kalinya, Sekolah Kartini didirikan pada tahun 1913, sembilan tahun setelah wafatnya RA Kartini,” tuturnya.
“Awalnya, Sekolah Kartini didirikan di Semarang. Seterusnya, terdapat cabang yang didirikan di enam daerah di Jawa, yakni di Madiun, Jakarta, Malang, Cirebon, dan Pekalongan. Juga, di Kota Bogor,” lanjut pria yang akrab disapa Ben.
Warisan Kartini, imbuhnya, hingga saat ini masih abadi seperti gagasan luhurnya.
“Seperti yang disampaikan Kartini dalam satu kalimat sederhana, teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi. Selamat Hari Kartini untuk wanita Indonesia,” ucapnya.
Abendanon dan Van Deventer Penerus Perjuangan Kartini
Mengutip penelitian Ira Pramuda Wardhani dan Eni Estiana dalam jurnal yang berjudul “Perjuangan dan Pemikiran R.A. Kartini tentang Pendidikan Perempuan” yang diwartakan kumparan.com, adanya politik etis menjadi sarana Kartini untuk mengobarkan cita-cita dan menggantung asanya setinggi langit untuk perempuan pribumi.

Pada Juni 1903 Kartini membuka sekolah perempuan untuk pertama kalinya di Jepara. Kurikulum pada sekolah tersebut berbeda dengan kebanyakan kurikulum yang terdapat di sekolahh Belanda karena kurikulum ini merupakan kurikulum gagasan Kartini sendiri. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga mengajarkan keterampilan lain seperti memasak dan keterampilan yang identik dengan perempuan.
Kartini yang wafat pada tahun 1904. Salah satunya adalah sahabat Kartini yang bernama Abendanon. Ia sering melakukan surat-menyurat bersama Kartini. Setelah Kartini wafat, ia menerbitkan buku yang berisi surat-surat yang dikirimkan oleh Kartini kepadanya yang berjudul Door Duisternist Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Buku tersebut sangat booming di Belanda dan mampu menarik simpati Ratu Belanda sehingga memerintahkan Abendanon untuk membuka yayasan khusus untuk memperhatikan pendidikan perempuan pribumi.
Pada 22 Agustus 1912 Abendanon dan Deventer resmi membuka Kartini Vereeniging atau Yayasan Kartini. Yayasan Kartini pertama kali membuka sekolah pada 1913 di Semarang yang dinamakan “Sekolah Kartini” yang diketuai pertama kali oleh Conrad Theodore van Deventer. Menukil detik.com, keuangan untuk Yayasan Kartini didapat dari penjualan buku kumpulan surat Kartini.
Pada tahun pertama, Sekolah Kartini menampung kurang lebih 112 siswa dengan lama pendidikan selama dua tahun. Sekolah tersebut khusus untuk perempuan pribumi menuntut ilmu.
Kemudian, pada 1917 berdirilah “Sekolah Van Deventer”. Sekolah tersebut didirikan untuk menghargai dan memberi penghormatan kepada Deventer selaku pimpinan Yayasan Kartini yang meninggal pada 1915. Sekolah tersebut merupakan sekolah khusus perempuan untuk mereka yang ingin berprofesi menjadi guru.
Sekolah Kartini pun kian meningkat. Mulanya sekolah ini diperuntukkan bagi para anak bangsawan dengan pengurus dan pelajar para perempuan Belanda. Kebijakan tersebut pun perlahan berubah saat Sekolah Kartini mengembangkan jaringannya ke berbagai daerah. Maka dari itu pada akhirnya Sekolah Kartini tak lagi didominasi anak-anak perempuan bangsawan.
Sekolah Kartini di Jakarta didirikan di bawah Vereeniging Bataviasche Kartinischool (Perhimpunan Sekolah Kartini Batavia). Sekolah ini pun menjadi jaringan sekolah pertama yang bersedia menampung anak tidak mampu. Pada 1928 dengan semangat kebangkitan nasional, para guru pribumi pun bisa masuk sebagai pengurus dan pengajar di Sekolah Kartini. (*)
Penulis : Nesto dan dari berbagai sumber