
Doni Maradona Hutabarat dan Adian Napitupulu saat dialog dengan warga Desa Sukawangi
INTELMEDIA – Menindaklanjuti laporan warga yang merasa lahan mereka diklaim sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Doni Maradona Hutabarat beserta anggota Komisi V DPR RI Adian Yunus Yusak Napitupulu mendatangi Desa Sukawangi, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Kedua wakil rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan yang sama-sama dari Daerah Pemilihan Kabupaten Bogor terpanggil turun langsung ke lapangan guna mengali lebih dalam persoalan tanah warga Desa Sukawangi yang diklaim oleh Kementrian Kehutanan, Senin (21/07/2025).
“Salah satu isu utama yang mencuat adalah banyaknya lahan milik warga yang masuk dalam klaim kawasan hutan. Menurut laporan warga, penetapan kawasan hutan dilakukan pada tahun 2014, sedangkan keberadaan desa sudah ada jauh sebelum penetapan tersebut dilakukan,” kata Doni.
Kedua legislator yang juga mantan aktivis 98 ini menyoroti ketidakjelasan data dari Kementerian Kehutanan agar tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
“Langkah ke depan, kita mengajak semua instansi terkait untuk duduk bersama mendiskusikan hal ini. Karena setiap instansi memiliki kewenangan masing-masing, terkait lahan ada ATR/BPN, terkait kawasan hutan ada Kementerian Kehutanan, dan kalau desa masuk ke kawasan hutan juga melibatkan Kementerian Desa. Ini harus diurus secara kolektif dengan melibatkan semua pihak,” lanjutnya.
Doni melanjutkan, perlunya penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui di mana letak permasalahannya, serta pentingnya mengedepankan kepentingan masyarakat.
“Kita harus prioritaskan kehidupan masyarakat dibanding yang lain,” tuturnya.
Ia juga menyinggung persoalan kebijakan berbasis Inpres justru kalah dengan keputusan menteri.
“Inpres itu dikalahkan oleh keputusan menteri. Itu jelas menyimpang dari aturan. Mereka melakukan tindakan tanpa pengecekan ke lapangan terlebih dahulu. Seharusnya mereka turun dulu ke bawah sebelum melakukan penetapan,” ujarnya.

Doni berharap, kalau masyarakat sudah lebih dulu tinggal di wilayah itu, maka seharusnya wilayah tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan sesuai dengan amanat UUD.
Sementara itu, Kepala Desa Sukawangi Budiyanto menegaskan bahwa pihak DPRD Provinsi Jawa Barat telah menerima berbagai aspirasi masyarakat dari berbagai unsur, mulai dari tokoh masyarakat, pihak sekolah, pemuda.
“Seluruh hasil reses ini akan dibawa oleh dewan dan diperjuangkan ke kementerian terkait di Jakarta,” ujar Budiyanto
Ia mengungkapkan bahwa sebelumnya telah ada pertemuan langsung dengan Menteri Desa. Budiyanto menyebutkan bahwa Menteri Desa dijadwalkan juga akan berkunjung ke Desa Sukawangi pada awal Agustus mendatang untuk meninjau langsung kondisi di lapangan.
“Kunjungan itu juga akan menjadikan Desa Sukawangi sebagai contoh atau perwakilan dari berbagai desa lain dari total 25.863 desa se-Indonesia. Harapan saya, jika persoalan di Desa Sukawangi ini selesai, maka 25.823 desa lainnya juga Insya Allah akan lebih mudah diselesaikan, khususnya yang berada di Kabupaten Bogor,” paparnya.
Ia bertutur, saat ini ada tekanan untuk mempercepat penyelesaian, mengingat di Kabupaten Bogor sendiri terdapat sekitar 30 desa yang menghadapi persoalan serupa.
“Saat ini, data-datanya sedang didaftarkan dan dikumpulkan. Minggu depan, Insya Allah, akan mulai ditindaklanjuti,” katanya.
Budiyanto juga menegaskan bahwa meskipun wilayah tersebut masih berstatus kawasan hutan khusus, pihaknya terus memperjuangkan agar status tersebut segera berubah.
“Untuk urusan perpajakan, kemarin saya juga sudah berkoordinasi dengan Pemda Kabupaten Bogor melalui Pak Sekda. Bahwa untuk pajak PBB, itu tetap harus disetorkan guna memperkuat pendapatan daerah. Artinya, pajak masih berjalan sampai saat ini, meskipun wilayah tersebut masih diklaim sebagai kawasan Perhutani,” pungkasnya.
Informasi yang dihimpun media online ini, sekitar 700 kepala keluarga di desa tersebut terancam kehilangan hak atas tanah yang telah mereka tempati dan kelola selama puluhan tahun karena wilayah mereka mendadak tercatat sebagai kawasan hutan negara.
Lebih kurang 350 hektar wilayah pemukiman dan lahan garapan warga masuk peta kawasan hutan. Hal ini membuat warga terkendala mengurus sertifikat hak milik, bahkan masyarakat setempat merasa was-was sewaktu-waktu dilakukan penertiban.
Sudah sejak lama warga sudah bermukim dan bercocok tanam di wilayah tersebut. Namun pada pendataan ulang kawasan hutan, desa, mereka masuk dalam penetapan kawasan hutan produksi terbatas (HPT), sehingga status kepemilikan tanah menjadi tidak jelas. Warga bersama pemerintah desa pun telah ajukan pelepasan kawasan non-hutan (PKNH), namun hingga kini belum ada kejelasan. (Dipidi/Ernesto)