
Hj Suparti
INTELMEDIA – Siswa yang mengalami keracunan pasca menyantap makan bergizi gratis (MBG) di Kota Bogor bertambah. Terkini, dari yang sebelumnya berjumlah 210, terbaru total ada 223 siswa dari TK hingga SMA yang mengalami keracunan.
Dampaknya, sebanyak 3.000 siswa di kota hujan, terpaksa tak mendapat makan bergizi gratis (MBG) selama beberapa waktu ke depan. Hal ini menyusul penonaktifan sementara dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Bosowa Bina Insani Bogor setelah ditemukannya menu MBG mengandung kandungan bakteri.
Menanggapi insiden keracunan MBG ratusan siswa di Kota Bogor, pengamat sosial Suparti memberikan masukan agar produk santap siang untuk siswa diganti dengan susu dan roti yang berisi sayuran atau daging.
“Idealnya produk MBG diganti dengan susu kemasan dan roti yang berisi sayuran atau daging. Harga per porsinya diperkirakan masih dibawah Rp10 ribu sebagaimana yang menjadi ketetapan resmi pemerintah. Dan, untuk menghindari potensi makanan menjadi basi,” kata Suparti di kediamannya, Sindangbarang, Kota Bogor, kepada pewarta, pada Jumat (16/5/2025).
Dia berujar, merujuk keterangan Badan Gizi Nasional yang mengungkap hasil lab menu Makan Bergizi Gratis yang diduga menyebabkan ratusan siswa keracunan di Kota Bogor, karena adanya kontaminasi bakteri Salmonella dan E coli.
“Jadi, akan lebih baik produk MBG diganti dengan makanan yang tidak basi dan layak makan untuk siswa sekolah. Solusinya, susu kemasan dan roti isi sayuran atau daging,” tukasnya.
“Harga susu kemasan kisaran Rp3500. Dan, roti isi daging atau sayuran yang ekonomis diperkirakan kisaran Rp3000 hingga Rp4000. Totalnya, masih dibawah Rp10 ribu. Nah, opsi itu lebih praktis dan jelas memenuhi standar gizi,” imbuh Suparti.
Ia pun menyampaikan, mitra layanan MBG atau catering tentu agak kesulitan menyesuaikan menu dengan harga Rp10 ribu per porsi untuk konsumsi pelajar.
“Anggaran senilai Rp10 ribu saat ini, sudah sangat sulit diperoleh jika makan di warteg. Artinya, santap makanan pun berpotensi tak memenuhi gizi. Selain itu, biaya transportasi, pengemasan, juru masak dan orientasi keuntungan tentunya turut jadi pertimbangan,” lanjutnya.
Dia pun membandingkan dengan Jepang yang sudah lebih dulu memberlakukan MBG dengan nama program Kyushoku. Program makan siang untuk anak sekolah di negeri matahari terbit tersebut sudah diterapkan sejak 1899 dan diperuntukan membantu anak-anak dari keluarga miskin.
“Di Jepang, makan siang Kyushoku hidangan semur, mi, atau sup, dengan makanan pendamping daging tumis atau sayuran, dan sekotak susu murni. Lalu, buah atau puding kecil untuk hidangan penutup. Menunya pun bervariasi, ada juga ada ayam goreng, sup ikan, nasi dengan ikan panggang. Lalu, menu makanan penutup buah, atau pudding atau kue. Hanya, yang jadi soal, menu tersebut tak bisa diberlakukan di Indonesia karena anggaran per porsi hanya Rp10 ribu. Jadi, lebih baik gunakan produk pengganti yang disesuaikan harganya,” tuntasnya. (Nesto)