
Oleh : Drs. H. Ading Ahmad Nadzir, S.Ag.
IntelMedia – Silat Cimande lahir di tanah Bogor, tetapi ironisnya lebih sering dibicarakan di seminar kebudayaan ketimbang diajarkan di sekolah-sekolah. Kita bangga Cimande diakui dunia, tapi lupa menanamkannya di halaman rumah sendiri. Pertanyaannya: mau sampai kapan Cimande sekadar jadi bahan pidato pejabat ketika festival berlangsung?
Setiap kali ada acara besar, Cimande digadang-gadang sebagai ikon kebanggaan daerah. Spanduk dipasang, jargon dilantangkan: “Melestarikan budaya warisan leluhur.” Tapi begitu panggung dibongkar, semua kembali ke rutinitas: anak-anak sekolah tetap lebih mengenal nama-nama atlet basket NBA ketimbang jurus-jurus Cimande. Bukankah ini ironi?
Keinginan menjadikan Cimande sebagai ekstrakurikuler sekolah sebetulnya sudah lama digembar-gemborkan. Tapi hambatannya selalu sama: tenaga pelatih kurang, kurikulum belum ada, anggaran terbatas. Pertanyaan sederhana: benarkah masalahnya sesulit itu, atau sebenarnya karena Cimande belum dianggap prioritas? Untuk membangun jalan beton bisa keluar miliaran, tapi untuk membangun karakter lewat Cimande anggarannya selalu seret.
Lebih lucu lagi, di kampung-kampung banyak guru Cimande yang siap mengajar. Tetapi sekolah ragu karena “tidak sesuai sistem.” Artinya, anak-anak lebih aman dilatih bela diri impor yang sudah punya buku panduan, ketimbang belajar Cimande langsung dari pewaris asli. Jadi, siapa yang sebenarnya kita lindungi: anak-anak kita atau sistem birokrasi?
Soal minat generasi muda? Jangan salahkan mereka bila lebih suka futsal atau K-pop. Kita yang gagal membungkus Cimande dengan cara yang segar. Selama Cimande hanya ditampilkan dalam bentuk seremonial kaku, jangan heran jika anak-anak menganggapnya kuno. Padahal, sedikit saja kreativitas, misalnya menggabungkan festival Cimande dengan musik modern, mungkin anak-anak akan lebih bangga menguasai jurus “Sabet” ketimbang sekadar joget TikTok.
Masalah lain yang sering jadi bahan bisik-bisik adalah perbedaan antar perguruan Cimande. Satu padepokan merasa paling asli, yang lain mengaku paling murni. Akhirnya, alih-alih menyatukan visi, Cimande malah sibuk berdebat siapa pewaris sah. Kalau terus begini, jangankan masuk sekolah, Cimande bisa-bisa habis duluan oleh ego para pewarisnya sendiri.
Padahal, jalan keluarnya tidak rumit. Pemerintah cukup membuat regulasi: Cimande wajib jadi muatan lokal di sekolah Bogor. Perguruan Cimande duduk bersama, menyusun kurikulum minimal, lalu para pelatih diberi ruang. Anak-anak belajar Cimande bukan sekadar untuk menang lomba, tapi untuk mengenal jati dirinya. Tapi tentu saja, ini butuh keberanian politik. Dan keberanian politik, sayangnya, tidak selalu seirama dengan kepentingan budaya.
Jika semua pihak terus menunda, Cimande akan tetap jadi legenda: besar di cerita, namun kecil di kenyataan. Kita akan terus bangga Cimande diakui UNESCO, tapi anak-anak kita tidak bisa membedakan antara Cimande dengan karate. Membumikan Cimande berarti mengajarkannya di sekolah, bukan hanya mengulang jargon di spanduk. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan di Bogor, mau di mana lagi?
Penulis adalah Anggota Komisi IV – DPRD Kabupaten Bogor dari Fraksi PKS, tinggal di Cigombong