
Oleh : Didi Suwardi, S.Pd.SD.
IntelMedia – Menjadi guru sering kali dipahami sebatas tugas untuk mengajar, menyampaikan ilmu kepada murid, dan memastikan mereka memahami materi sesuai kurikulum. Namun, semakin lama saya menjalani profesi ini, semakin jelas bahwa hakikat guru tidak berhenti pada aktivitas mengajar. Di balik papan tulis, tumpukan modul, dan tatapan puluhan pasang mata di ruang kelas, ada proses lain yang tak kalah penting: belajar.
Guru, betapapun tinggi ilmunya, tetaplah manusia yang penuh keterbatasan. Ilmu pengetahuan terus berkembang, sementara dunia murid juga bergerak cepat, dipengaruhi teknologi, tren sosial, bahkan perubahan budaya yang begitu dinamis. Jika guru berhenti belajar, maka ia akan tertinggal, tidak hanya dari muridnya, tetapi juga dari zamannya. Maka sesungguhnya, mengajar itu adalah sekaligus belajar.
Guru Sebagai Murid Seumur Hidup
Ada adagium lama yang mengatakan, “Guru adalah murid yang tak pernah lulus.” Kalimat sederhana ini mengandung kebenaran mendalam. Sebab, dalam setiap proses mengajar, guru sebenarnya sedang diuji kembali pemahamannya. Pertanyaan-pertanyaan polos dari murid sering kali membuat guru harus berpikir ulang, menelaah kembali apa yang sudah dianggap selesai, bahkan mencari jawaban baru.
Misalnya, ketika seorang murid bertanya: “Mengapa kita harus belajar sejarah kalau kenyataannya sudah lewat?” Pertanyaan sederhana itu bisa jadi membuat guru sejarah merenung. Ia harus belajar cara baru menjelaskan bahwa sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan cermin untuk memahami masa depan.
Momen-momen seperti itu membuktikan bahwa murid bukan hanya penerima ilmu, melainkan pengingat sekaligus penggerak bagi guru untuk terus belajar. Tanpa disadari, murid justru menjadi “guru kecil” bagi kita.
Antara Rutinitas dan Panggilan Jiwa
Realitasnya, banyak guru yang terjebak rutinitas administratif: menyiapkan RPP, mengisi absen, menyusun laporan, menghadiri rapat, hingga tenggelam dalam tumpukan pekerjaan tambahan. Dalam pusaran rutinitas itu, terkadang ruh pendidikan yang sejati terlupakan. Mengajar seakan hanya menjadi kewajiban formal, bukan lagi panggilan jiwa.
Padahal, bila kita menyadari bahwa mengajar itu sekaligus belajar, maka semangat akan terasa berbeda. Setiap pertemuan dengan murid menjadi ruang dialektika, bukan sekadar monolog sepihak. Guru menyampaikan ilmu, murid menyerap, lalu bersama-sama mereka belajar mencari makna.
Inilah yang sering hilang ketika mengajar hanya dipandang sebagai pekerjaan rutin. Guru yang berhenti belajar akan kehilangan daya hidupnya di kelas. Ia mungkin masih bisa menyampaikan materi, tetapi suaranya hambar, matanya redup, dan murid pun merasakan energi yang kurang menggugah.
Belajar dari Murid
Saya sering kali merasa malu ketika menyadari bahwa murid-murid lebih cepat beradaptasi dengan teknologi baru dibanding saya. Mereka bisa dengan mudah membuat presentasi kreatif, mengedit video pendek, atau bahkan menemukan sumber bacaan lebih cepat lewat mesin pencari. Jika guru tidak mau belajar, bukan tidak mungkin suatu saat justru murid lebih tahu banyak hal.
Namun, inilah indahnya profesi guru: kita selalu punya kesempatan untuk belajar dari mereka. Tidak ada yang memalukan ketika seorang guru bertanya balik pada murid, “Bagaimana cara kamu membuat itu?” Justru di situlah letak kejujuran intelektual seorang pendidik. Mengakui keterbatasan dan bersedia belajar dari siapa saja adalah tanda bahwa kita benar-benar menghargai ilmu.
Di titik ini, peran guru bukan lagi sumber pengetahuan tunggal, melainkan fasilitator, pendamping, sekaligus pembelajar sejati. Murid belajar pada guru, guru belajar pada murid—dan keduanya sama-sama tumbuh.
Mengajar dengan Hati, Belajar dengan Rendah Hati
Salah satu kunci penting dalam menjalani keseimbangan antara mengajar dan belajar adalah sikap hati. Mengajar dengan hati berarti menyampaikan ilmu bukan sekadar agar murid paham, tetapi agar mereka merasakan makna. Sementara belajar dengan rendah hati berarti menyadari bahwa kita tidak pernah benar-benar selesai memahami dunia ini.
Guru yang rendah hati tidak takut terlihat tidak tahu. Justru ia akan menjadikan keterbatasan itu sebagai pemantik diskusi, ruang pencarian bersama. Misalnya, ketika ada murid bertanya tentang hal yang belum dikuasai, guru bisa menjawab: “Mari kita cari tahu bersama.” Sikap ini tidak membuat guru kehilangan wibawa, justru memperkuatnya, karena murid melihat teladan nyata tentang bagaimana menghadapi ketidaktahuan dengan bijak.
Menjaga Api Semangat
Dalam dunia yang serba cepat ini, godaan untuk menyerah pada rutinitas sangat besar. Banyak guru yang akhirnya menjalani profesinya hanya sebagai pekerjaan demi gaji bulanan, bukan lagi misi pengabdian. Padahal, guru adalah profesi yang unik: ia menyentuh masa depan melalui murid-muridnya.
Untuk menjaga api semangat, guru perlu terus menghidupkan kebiasaan belajar. Membaca buku baru, mengikuti pelatihan, berdiskusi dengan rekan sejawat, hingga belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Semakin banyak guru belajar, semakin segar pula energi yang dibawanya ke ruang kelas. Murid akan merasakan bahwa guru mereka tidak hanya memberi teori, tetapi juga menghadirkan inspirasi.
Penutup
Antara mengajar dan belajar, sesungguhnya tidak ada garis pemisah. Mengajar adalah belajar, dan belajar adalah bagian tak terpisahkan dari mengajar. Seorang guru yang terus belajar akan selalu menemukan cara baru untuk membuat ilmunya bermakna. Sebaliknya, guru yang berhenti belajar akan kehilangan rohnya, meski tetap hadir secara fisik di ruang kelas.
Karena itu, marilah kita sebagai guru senantiasa meneguhkan niat: bahwa setiap kali kita berdiri di depan murid, bukan hanya mereka yang belajar dari kita, tetapi kita pun sedang belajar dari mereka. Dengan begitu, profesi ini akan selalu hidup, penuh cahaya, dan memberi manfaat yang tak pernah habis.
Penulis : Didi Suwardi, S.Pd.SD. (Ketua K3S Kec. Cisarua / Kepsek SDN Cikoneng, Kec. Cisarua Kab. Bogor)